Selamat datang di blog ana, sebelumnya ana memohon maaf atas segala keterbatasan di blog ini. Pada tulisan perdana ini, kita akan sedikit membahas tentang Mahabbah atau kecintaan. Selamat membaca, semoga bermanfaat.
"Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah."
(Al
Baqarah [2]: 165)
Seorang
yang beriman sejak memproklamirkan bahwa tiada ilah (ilah dapat berma'na 'yang
dicintai') selain Allah dan beriltizam (commit) sepenuh daya akan proklamasi
diri ini, maka Allah telah ditempatkan dan menempati tiang tertinggi cintanya.
Mahabbatullah (cinta akan Allah) memenuhi seluruh rongga dada dan merah
hatinya. Dari sanalah diturunkan rasa cinta kepada RasulNya, orang-orang
beriman, sanak keluarga dan para kerabat.
Rasa
cinta itu demikian bersangatan, AMAT SANGAT, mengalahkan cintanya kepada anak
dan istri, perniagaan yang dikhawatirkan kerugiannya. Cinta, harap dan takut
kepada Rabb Yang meciptakan dirinya, yang memberinya rizki dan
pertolongan.
Dalam
sebuah dialog antara seorang sufi; yakni Abu Said al khazraz dengan seorang
Awam akan terlihat dalamnya 'cinta' dan paduannya dengan 'takut'.
Awam
: alangkah baiknya cara tarekatmu, sayangnya engkau mengingkari 'cinta'
itu.
Abu
Said : sekali-kali aku tak bermaksud begitu
Awam
: apakah engkau mencintai Tuhanmu ?
Abu
Said : ya
Awam
: mengapa engkau merasa takut kalau Dia tidak mencintaimu, sedang engkau
mencintaiNya ?
Abu
Said : aku cinta karena ni'mat, karunia dan ma'rifatNya yg demikian besar telah
aku terima. Namun aku banyak melakukan kesalahan-kesalahan dan dosa, aku takut
Dia tidak mencintaiku karena kesalahan-kesalahan itu.
Cinta
muncul karena kesadaran telah menerima anugerah yang besar dari Allah,
kedalaman pemahaman betapa rasa kasih-sayang Allah melingkupi detik-detik
kehidupan kita, dan ma'rifatullah (mengenal Allah). Lalu rasa takut cinta tak
diterimaNya akan menambah-nambah rasa cinta itu. Sehingga seorang mu'min amat
sangat cintanya kepada Allah dan hasrat yang besar untuk bertemu dengan-
Nya.
Refleksi
cinta adalah tunduk-patuh, menurut, taat akan perintah Allah dan menjauhkan
segala laranganNya. Mahabbatullah tidak cukup sekedar di mulut lalu menyepi,
menyendiri dan hanya melaksanakan ibadah mahdoh (khusus) belaka tanpa melihat
kondisi kaum Muslimin yang merealitas. Rasa cinta kepada Allah tidak cukup
dengan hanya menjadi seorang abid (akhli ibadah) dan lari dari kenyataan yang
menimpa kaum Muslimin. Tak cukup dengan beribadah sendirian lalu ingin masuk
surga sendirian. Mahabbatullah bukanlah melulu dengan dzikir lisan sampai ludah
penuh membasahi tikar dan mengeringkan tenggorok, lalu mengaku wahdattul wujud
(bersatu dengan Allah) atau mengaku menjadi Allah. Rasa cinta kepada Allah
tidak cukup dengan itu semua, sama sekali tidak cukup, apalagi di saat kaum
Muslimin tertindas, hak-haknya terampas, dipermalukan dan dihinakan.
Rasa
cinta yang benar adalah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, tauhiddul
uswah, dijalankan oleh generasi terbaik umat ini, para awwalun Muslimin. Rasa
cinta yang meresap pada setiap gerak bibir, yang membasah dalam setiap tetes
keringat, yang mengental dalam setiap merah darah tubuh yang terluka, yang
mengendap bersama ruhhul jihad, yang memancar bersama denting pedang, helaan
tali kekang kuda, dan luncuran anak panah. Rasa cinta yg merealitas, rasa cinta
yang mewujud dan bukan sekedar angan-angan egoisme dalam penyendirian. Rasa
cinta yang muncul dari segenap daya dan bukan melulu kata-kata dan sebatas
kata-kata percintaan sufistik.
Cinta
akan Allah mewujud dalam upaya menegakkan kalimatNya, membangun qiyadah
(kepemimpinan) yang memuliakanNya, membangun kesatuan yang mengangkat izzah
(kebanggaan) kaum Muslimin, merebut kembali hak-hak kaum Muslimin yang
terampas, membebaskan negeri-negeri Muslim yang terjajah, membebaskan
penyembahan manusia atas mamanusia, penyembahan manusia atas materi dan
kekuasaan, pemyembahan manusia atas nafsu syahwat lalu mengukuhkan tugas suci
sebagai khalifah fil ardh, memainkan peran untuk memberi rakhmattan lil
'alamiin. Mahabbatullah mestilah mengambil bentuk dalam amal jama'i, amar
ma'ruf nahi munkar.
Inilah
cinta kepadaNya, cinta yang hidup, cinta yang mewujud, cinta yang realistis,
cinta yang mengental dalam akhlaq islami, cinta yang dicontohkan oleh manusia
teladan, Muhammad SAW.
"Hendaklah
kalian mencintai Allah karena Dia memelihara kalian dengan ni'mat-ni'matNya.
Dan cintailah aku demi cintamu kepada Allah. Dan cintailah akhli rumahku demi
cintamu kepadaku." (H.R. At Tirmidzi, Al Hakim dari ibnu Abbas)
Ketika
Hijrah, Rasulullah berjalan bersama Abu bakar r.a, berdua dalam pengejaran
pembunuh bayaran kaum Quraish. Allah menyelamatkan keduanya di gua Tsur. Ketika
malam tiba, Abu bakar merobek pakaiannya untuk alas tidur Rasulullah. Maka
Rasulullah tertidur dengan pulas dalam pangkuan Abu bakar. Meski terasa pegal
tak digerakkan juga badannya, khawatir mengganggu tidur Rasulullah. Sampai kala
jengking menyengat kakinya. Sengatannya demikian perih dan mengucurkan darah
segar pada kaki Abu bakar, namun tak juga digerakan badannya, sampai akhirnya
Abu bakar yang kokoh, tegar, dan gagah mengucurkan air mata karena perihnya
luka. Rasulullah terbangun karena hangat air mata Abu bakar menetes dan
membasahi badan beliau. Terkejutlah beliau manakala melihat kaki yang terluka
disengat kala jengking. Dengan izin Allah akhirnya luka itu sembuh setelah
diobati Rasulullah. Seorang yang beriman sejak memproklamirkan bahwa tiada ilah
('yang dicintai') selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, maka rasa cinta
kepada Allah mengambil bentuk awal berupa rasa cinta kepada Rasulullah.
Mahabbaturrasul (cinta kepada rasul) ini berujud "sami'na wa
atha'ana" (dengar dan taat) pada perintah rasul, berendah hati,
mendahulukan, melindungi, dan kasih-sayang kepada beliau.
Generasi
terbaik ummat ini mencontohkan betapa mahabbaturrasul bukan hanya terbatas pada
salam dan salawat, namun juga membentengi Rasulullah dari mara bahaya dalam
banyak peperangan, tampil membela islam dari hinaan orang-orang yang suka
menghina serta celaan dari orang-orang yang suka mencela. Bagi mereka mencintai
Rasul bukan lagi sebuah perintah, tapi sesuatu yang memang telah ada di dalam
dada mereka, dalam merah darah mereka, dalam setiap kebersamaan mereka bersama
Rasulullah dan mengikuti petunjuk-petunjuknya. Bagi mereka rasa cinta kepada
Rasulullah adalah hal yang otomatis setelah mereka mengakui islam dan
membaiatnya. Dan ini mewujud dalam pembuktian baik ketika periode Makkah maupun
Madinah.
Mahabbaturrasul
muncul dari keikhlasan dan ketulusan syar'i, rasa-sayang yang Allah tumbuhkan,
yang tak dapat ditumbuhkan manusia meski dibelanjakan seluruh kekayaan yang
meliputi dunia. Rasa sayang yang melebihi rasa sayang terhadap bapak-bapak,
anakanak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang
diusahakan, perniagaan yang dikhawatiri kerugiannya, rumahrumah yang disukai.
Bahkan rasa sayang yang melebihi rasa sayang kepada diri sendiri.
Itulah
mahabbaturrasul yang men-sibgha (mewarnai) hati Abu bakar r.a. Mendahulukan,
melindungi, dan tak membangunkan tidur Rasulullah, meski kakinya tersengat kala
jengking yang berbisa. Rasa cinta yang muncul karena iman dan islam diterima
melalui perantaraan beliau. Karena melalui beliaulah jalan yang diridhai Allah
dapat dititi, karena perantaraannya lah difahami firman Allah Al Qur'an.
"
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum; yang Allah mencintai
mereka dan mereka mencintaiNya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang
yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di
jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka
mencela." (Al Maaidah: 54)
Urutan
cinta seorang Muslim sejati, setelah mahabbatullah (cinta kepada Allah), dan
mahabbaturrasul (cinta kepada rasul) adalah mahabbah kepada orang-orang yang beriman.
Rasa cinta yang Rasulullah dalam sebuah sabdanya melukiskan;
"Perumpamaan
kaum mu'minin dalam cinta-kasih dan rakhmat hati, mereka bagaikan satu badan.
Apabila satu anggota menderita, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh
badan hingga tidak dapat tidur dan panas" (H.R Bukhari dan Muslim)
Rasa
cinta yang demikian besar, yang muncul atas ni'mat Allah (Ali Imran: 103).
karena Allah lah yang telah mempersatukan hati orang-orang yang beriman, yang
tanpaNya niscaya meski dengan semua kekayaan yang ada di bumi tak akan dapat
dipersatukan hati-hati itu (Al Anfal:63).
Bagi
orang yang beriman rasa cinta kasih muncul dari kesadaran, bahwa mereka telah
berikrar menolak semua ilah kecuali Allah. Mereka mempunyai ghayyah (tujuan)
yang sama; ikut, takut, dan cinta kepada Allah yang sama, Tuhan semesta alam.
Merekapun mengakui Muhammad bin Abdullah sebagai Rasulullah, uswatun khasanah,
tauhiddul uswah. Mereka hanya mempunyai satu contoh utama dalam pengabdiannya
kepada Allah, yakni Nabi Terakhir, Muhammad SAW, uswah yang sama.
Dalam
mengarungi hidup ini seorang yang beriman memiliki pedoman hidup, jalan hidup
yang sama, kompas yang akan menyelamatkannya dari ketersesatan di belukar
ideologi manusiawi ; yakni dienul Islam. Mereka memiliki kitab petunjuk yg
sama, yang darinya furqon diperoleh. Mereka adalah satu, satu ummah, dan bahkan
dalam setiap harinya mereka shalat menghadap arah yang sama; Ka'bah di Makkah
al Mukarromah.
Itulah
unsur-unsur kesamaan yang mengikat jiwa seorang Muslim, yang menyatukan pijakan
dan meluruskan tashawwur (pandangan). Sehingga memunculkan kesamaan jati diri,
kesamaan syaksyiyah (kepribadian), dan kesamaan sejarah di masa lampau.
Kesadaran
akan kesamaan sejarah adalah modal besar bagi tumbuhnya keterikatan masa lalu,
keterikatan di masa kini, dan keterikatan di masa depan. Kesamaan sejarah
adalah kesamaan tawa dan tangis, kesamaan keringat dan air mata, kesamaan
cerita diri, kesamaan kenangan. Kesamaan sejarah akan membangkitkan nostalgia
yang sama, kerinduan yang sama, dan harapan-harapan di masa depan yang sama.
Dan ini akan mengental dalam cita-cita kolektif yang sama, kesamaan fikir dan
gerak.
Beranjak
dari kesadaran sejarah itu dan misi yang diemban sebagai khalifah fil ardh
untuk menyebarkan rakhmatan lil 'alamiin, tak ada cita-cita lain dari seorang
yang beriman selain ukhuwah islamiyah, kesatuan ummat dalam aqidah yang lurus,
kesatuan ummat dalam qiadah islamiah (kepemimpinan islam), yang darinya
negeri-negeri islam yang terampas dikembalikan, yang darinya izzah (kebanggaan)
sebagai seorang Muslim ditegakkan, yang darinya kemuliaan islam dipancarkan, di
dalamnya peraturan Allah dan RasulNya ditegakkan, sehingga tidak ada lagi
fitnah (penyembahan manusia terhadap selain Allah) di muka bumi dan semua
penyembahan dikembalikan hanya kepada Allah, Allah lah Rabb sekalian alam,
Allah lah Tuhan sekalian manusia yang jiwa kita ada ditanganNya. Inilah
cita-cita seorang Muslim sejati, cita-cita kolektif di masa depan.
Kesamaan
jati-diri, kesamaan aqidah, kesamaan amanah yang digenggam, kesamaan sejarah,
kesamaan misi. Maka inilah cinta diantara orang-orang yang beriman.