Assalamu'alaikum .. Ahlan wa sahlan !!

Sabtu, 07 Juni 2014

Al Mahabbah (Kecintaan)

Selamat datang di blog ana, sebelumnya ana memohon maaf atas segala keterbatasan di blog ini. Pada tulisan perdana ini, kita akan sedikit membahas tentang Mahabbah atau kecintaan. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." 
(Al Baqarah [2]: 165)

Seorang yang beriman sejak memproklamirkan bahwa tiada ilah (ilah dapat berma'na 'yang dicintai') selain Allah dan beriltizam (commit) sepenuh daya akan proklamasi diri ini, maka Allah telah ditempatkan dan menempati tiang tertinggi cintanya. Mahabbatullah (cinta akan Allah) memenuhi seluruh rongga dada dan merah hatinya. Dari sanalah diturunkan rasa cinta kepada RasulNya, orang-orang beriman, sanak keluarga dan para kerabat. 

Rasa cinta itu demikian bersangatan, AMAT SANGAT, mengalahkan cintanya kepada anak dan istri, perniagaan yang dikhawatirkan kerugiannya. Cinta, harap dan takut kepada Rabb Yang meciptakan dirinya, yang memberinya rizki dan pertolongan. 

Dalam sebuah dialog antara seorang sufi; yakni Abu Said al khazraz dengan seorang Awam akan terlihat dalamnya 'cinta' dan paduannya dengan 'takut'. 

Awam : alangkah baiknya cara tarekatmu, sayangnya engkau mengingkari 'cinta' itu. 
Abu Said : sekali-kali aku tak bermaksud begitu
Awam : apakah engkau mencintai Tuhanmu ?
Abu Said : ya
Awam : mengapa engkau merasa takut kalau Dia tidak mencintaimu, sedang engkau mencintaiNya ?
Abu Said : aku cinta karena ni'mat, karunia dan ma'rifatNya yg demikian besar telah aku terima. Namun aku banyak melakukan kesalahan-kesalahan dan dosa, aku takut Dia tidak mencintaiku karena kesalahan-kesalahan itu.

Cinta muncul karena kesadaran telah menerima anugerah yang besar dari Allah, kedalaman pemahaman betapa rasa kasih-sayang Allah melingkupi detik-detik kehidupan kita, dan ma'rifatullah (mengenal Allah). Lalu rasa takut cinta tak diterimaNya akan menambah-nambah rasa cinta itu. Sehingga seorang mu'min amat sangat cintanya kepada Allah dan hasrat yang besar untuk bertemu dengan- Nya. 

Refleksi cinta adalah tunduk-patuh, menurut, taat akan perintah Allah dan menjauhkan segala laranganNya. Mahabbatullah tidak cukup sekedar di mulut lalu menyepi, menyendiri dan hanya melaksanakan ibadah mahdoh (khusus) belaka tanpa melihat kondisi kaum Muslimin yang merealitas. Rasa cinta kepada Allah tidak cukup dengan hanya menjadi seorang abid (akhli ibadah) dan lari dari kenyataan yang menimpa kaum Muslimin. Tak cukup dengan beribadah sendirian lalu ingin masuk surga sendirian. Mahabbatullah bukanlah melulu dengan dzikir lisan sampai ludah penuh membasahi tikar dan mengeringkan tenggorok, lalu mengaku wahdattul wujud (bersatu dengan Allah) atau mengaku menjadi Allah. Rasa cinta kepada Allah tidak cukup dengan itu semua, sama sekali tidak cukup, apalagi di saat kaum Muslimin tertindas, hak-haknya terampas, dipermalukan dan dihinakan. 

Rasa cinta yang benar adalah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, tauhiddul uswah, dijalankan oleh generasi terbaik umat ini, para awwalun Muslimin. Rasa cinta yang meresap pada setiap gerak bibir, yang membasah dalam setiap tetes keringat, yang mengental dalam setiap merah darah tubuh yang terluka, yang mengendap bersama ruhhul jihad, yang memancar bersama denting pedang, helaan tali kekang kuda, dan luncuran anak panah. Rasa cinta yg merealitas, rasa cinta yang mewujud dan bukan sekedar angan-angan egoisme dalam penyendirian. Rasa cinta yang muncul dari segenap daya dan bukan melulu kata-kata dan sebatas kata-kata percintaan sufistik. 

Cinta akan Allah mewujud dalam upaya menegakkan kalimatNya, membangun qiyadah (kepemimpinan) yang memuliakanNya, membangun kesatuan yang mengangkat izzah (kebanggaan) kaum Muslimin, merebut kembali hak-hak kaum Muslimin yang terampas, membebaskan negeri-negeri Muslim yang terjajah, membebaskan penyembahan manusia atas mamanusia, penyembahan manusia atas materi dan kekuasaan, pemyembahan manusia atas nafsu syahwat lalu mengukuhkan tugas suci sebagai khalifah fil ardh, memainkan peran untuk memberi rakhmattan lil 'alamiin. Mahabbatullah mestilah mengambil bentuk dalam amal jama'i, amar ma'ruf nahi munkar. 

Inilah cinta kepadaNya, cinta yang hidup, cinta yang mewujud, cinta yang realistis, cinta yang mengental dalam akhlaq islami, cinta yang dicontohkan oleh manusia teladan, Muhammad SAW. 

"Hendaklah kalian mencintai Allah karena Dia memelihara kalian dengan ni'mat-ni'matNya. Dan cintailah aku demi cintamu kepada Allah. Dan cintailah akhli rumahku demi cintamu kepadaku." (H.R. At Tirmidzi, Al Hakim dari ibnu Abbas) 

Ketika Hijrah, Rasulullah berjalan bersama Abu bakar r.a, berdua dalam pengejaran pembunuh bayaran kaum Quraish. Allah menyelamatkan keduanya di gua Tsur. Ketika malam tiba, Abu bakar merobek pakaiannya untuk alas tidur Rasulullah. Maka Rasulullah tertidur dengan pulas dalam pangkuan Abu bakar. Meski terasa pegal tak digerakkan juga badannya, khawatir mengganggu tidur Rasulullah. Sampai kala jengking menyengat kakinya. Sengatannya demikian perih dan mengucurkan darah segar pada kaki Abu bakar, namun tak juga digerakan badannya, sampai akhirnya Abu bakar yang kokoh, tegar, dan gagah mengucurkan air mata karena perihnya luka. Rasulullah terbangun karena hangat air mata Abu bakar menetes dan membasahi badan beliau. Terkejutlah beliau manakala melihat kaki yang terluka disengat kala jengking. Dengan izin Allah akhirnya luka itu sembuh setelah diobati Rasulullah. Seorang yang beriman sejak memproklamirkan bahwa tiada ilah ('yang dicintai') selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, maka rasa cinta kepada Allah mengambil bentuk awal berupa rasa cinta kepada Rasulullah. Mahabbaturrasul (cinta kepada rasul) ini berujud "sami'na wa atha'ana" (dengar dan taat) pada perintah rasul, berendah hati, mendahulukan, melindungi, dan kasih-sayang kepada beliau. 

Generasi terbaik ummat ini mencontohkan betapa mahabbaturrasul bukan hanya terbatas pada salam dan salawat, namun juga membentengi Rasulullah dari mara bahaya dalam banyak peperangan, tampil membela islam dari hinaan orang-orang yang suka menghina serta celaan dari orang-orang yang suka mencela. Bagi mereka mencintai Rasul bukan lagi sebuah perintah, tapi sesuatu yang memang telah ada di dalam dada mereka, dalam merah darah mereka, dalam setiap kebersamaan mereka bersama Rasulullah dan mengikuti petunjuk-petunjuknya. Bagi mereka rasa cinta kepada Rasulullah adalah hal yang otomatis setelah mereka mengakui islam dan membaiatnya. Dan ini mewujud dalam pembuktian baik ketika periode Makkah maupun Madinah. 

Mahabbaturrasul muncul dari keikhlasan dan ketulusan syar'i, rasa-sayang yang Allah tumbuhkan, yang tak dapat ditumbuhkan manusia meski dibelanjakan seluruh kekayaan yang meliputi dunia. Rasa sayang yang melebihi rasa sayang terhadap bapak-bapak, anakanak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang diusahakan, perniagaan yang dikhawatiri kerugiannya, rumahrumah yang disukai. Bahkan rasa sayang yang melebihi rasa sayang kepada diri sendiri. 

Itulah mahabbaturrasul yang men-sibgha (mewarnai) hati Abu bakar r.a. Mendahulukan, melindungi, dan tak membangunkan tidur Rasulullah, meski kakinya tersengat kala jengking yang berbisa. Rasa cinta yang muncul karena iman dan islam diterima melalui perantaraan beliau. Karena melalui beliaulah jalan yang diridhai Allah dapat dititi, karena perantaraannya lah difahami firman Allah Al Qur'an. 

" Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum; yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintaiNya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela." (Al Maaidah: 54)

Urutan cinta seorang Muslim sejati, setelah mahabbatullah (cinta kepada Allah), dan mahabbaturrasul (cinta kepada rasul) adalah mahabbah kepada orang-orang yang beriman. Rasa cinta yang Rasulullah dalam sebuah sabdanya melukiskan; 

"Perumpamaan kaum mu'minin dalam cinta-kasih dan rakhmat hati, mereka bagaikan satu badan. Apabila satu anggota menderita, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan hingga tidak dapat tidur dan panas" (H.R Bukhari dan Muslim) 

Rasa cinta yang demikian besar, yang muncul atas ni'mat Allah (Ali Imran: 103). karena Allah lah yang telah mempersatukan hati orang-orang yang beriman, yang tanpaNya niscaya meski dengan semua kekayaan yang ada di bumi tak akan dapat dipersatukan hati-hati itu (Al Anfal:63). 

Bagi orang yang beriman rasa cinta kasih muncul dari kesadaran, bahwa mereka telah berikrar menolak semua ilah kecuali Allah. Mereka mempunyai ghayyah (tujuan) yang sama; ikut, takut, dan cinta kepada Allah yang sama, Tuhan semesta alam. Merekapun mengakui Muhammad bin Abdullah sebagai Rasulullah, uswatun khasanah, tauhiddul uswah. Mereka hanya mempunyai satu contoh utama dalam pengabdiannya kepada Allah, yakni Nabi Terakhir, Muhammad SAW, uswah yang sama. 

Dalam mengarungi hidup ini seorang yang beriman memiliki pedoman hidup, jalan hidup yang sama, kompas yang akan menyelamatkannya dari ketersesatan di belukar ideologi manusiawi ; yakni dienul Islam. Mereka memiliki kitab petunjuk yg sama, yang darinya furqon diperoleh. Mereka adalah satu, satu ummah, dan bahkan dalam setiap harinya mereka shalat menghadap arah yang sama; Ka'bah di Makkah al Mukarromah. 

Itulah unsur-unsur kesamaan yang mengikat jiwa seorang Muslim, yang menyatukan pijakan dan meluruskan tashawwur (pandangan). Sehingga memunculkan kesamaan jati diri, kesamaan syaksyiyah (kepribadian), dan kesamaan sejarah di masa lampau. 

Kesadaran akan kesamaan sejarah adalah modal besar bagi tumbuhnya keterikatan masa lalu, keterikatan di masa kini, dan keterikatan di masa depan. Kesamaan sejarah adalah kesamaan tawa dan tangis, kesamaan keringat dan air mata, kesamaan cerita diri, kesamaan kenangan. Kesamaan sejarah akan membangkitkan nostalgia yang sama, kerinduan yang sama, dan harapan-harapan di masa depan yang sama. Dan ini akan mengental dalam cita-cita kolektif yang sama, kesamaan fikir dan gerak. 

Beranjak dari kesadaran sejarah itu dan misi yang diemban sebagai khalifah fil ardh untuk menyebarkan rakhmatan lil 'alamiin, tak ada cita-cita lain dari seorang yang beriman selain ukhuwah islamiyah, kesatuan ummat dalam aqidah yang lurus, kesatuan ummat dalam qiadah islamiah (kepemimpinan islam), yang darinya negeri-negeri islam yang terampas dikembalikan, yang darinya izzah (kebanggaan) sebagai seorang Muslim ditegakkan, yang darinya kemuliaan islam dipancarkan, di dalamnya peraturan Allah dan RasulNya ditegakkan, sehingga tidak ada lagi fitnah (penyembahan manusia terhadap selain Allah) di muka bumi dan semua penyembahan dikembalikan hanya kepada Allah, Allah lah Rabb sekalian alam, Allah lah Tuhan sekalian manusia yang jiwa kita ada ditanganNya. Inilah cita-cita seorang Muslim sejati, cita-cita kolektif di masa depan. 

Kesamaan jati-diri, kesamaan aqidah, kesamaan amanah yang digenggam, kesamaan sejarah, kesamaan misi. Maka inilah cinta diantara orang-orang yang beriman. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar